"Bukan hanya basa basi ya enaknya. Seratus persen lezatnya," ujar Presiden SBY sambil mengancungkan jempol. Presiden menyatakan itu setelah mencicipi tahu yang digoreng oleh istrinya sendiri, Ani Yudhoyono.
Peninjauan ke pabrik tahu ini dilakukan di tengah hujan rintik-rintik. SBY tak hanya meninjau, tapi juga ikut mencoba membuat tahu. Kedelai yang sudah digiling halus dan direbus serta dicampur dengan ragi lalu dicetak dalam bentuk persegi.
Proses pembuatan tahu di pabrik milik Yayan ini cukup modern. "Yang lebih modern ternyata di daerah ya," kata SBY.
Proses terakhir adalah penggorengan. Pada proses akhir ini, Ibu Ani memasukkan tahu-tahu potongan kecil ke dalam wajan besar berisi minyak panas. Ibu Ani menggoreng tahu-tahu tersebut hingga matang berwarna kecoklatan. Tak lupa, tahu hasil gorengan Ibu Negara dicicipi oleh SBY dan sejumlah menteri yang mendampingi.
Presiden SBY tiba di pabrik itu disambut Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dan Bupati, Sumedang Ade Irawan.
Tahu goreng khas Sumedang adalah lauk dan camilan sehat dengan harga yang merakyat. Di Palasari, tahu ukuran mini dijual dengan harga Rp 600 per potong. Setiap hari, pabrik tahu milik Yayan ini bisa memproduksi hingga 10 ribu potong tahu.
Itu baru satu pabrik. Ada ratusan pabrik sejenis berdiri di Sumedang. Karenanya tak heran, jika wilayah itu disebut 'kota tahu'.
Sementara puluhan tukang tahu Sumedang adalah etalase pertama yang akan kita temui, saat keluar gerbang tol Cileunyi menuju timur. Dia bukan hanya etalase atau ikon, tapi menunjukan kencangnya tahu memutar roda perekonomian rakyat Sumedang.
Tapi tahukah anda kenapa dia disebut tahu? Sejarah mencatat pembuatan tahu Sumedang berawal dari resep seorang Tionghoa. Dia adalah istri Ongkino yang sudah membuat tahu sejak jaman penjajahan Belanda. Saat itu, istri Ongkino memiliki ide memproduksi Tou Fu. Bahasa Hokkian untuk penganan yang dibuat dari saripati kedelai itu jika dibaca menjadi 'tau hu' yang berarti sama.
Namun lidah orang Sunda menyingkatnya dengan julukan tahu.
Wikipedia mencatat, setelah beberapa tahun membuat tahu, anak tunggal Ongkino menyusul tinggal bersama mereka di Sumedang tahun 1917. Ong Bung Keng, demikian si anak bernama, kemudian melanjutkan usaha orang tuanya. Sementara dua orang tua itu malah akhirnya memilih kembali ke tanah kelahiran mereka di Hokkian, Republik Rakyat Cina.
Bung Keng jadi merk tahu Sumedang tersohor. Warisan resep tahu istri Ongkino terus diturunkan dari generasi ke generasi. Bung Keng meninggal pada usia pada 92 tahun. Di balik kemasyhuran tahu Sumedang, adalah kisah Pangeran berdokar pencicip tahu.
Seperti apa yang diceritakan cucu dari Ongkino, Suryadi. Sekitar tahun 1928, konon suatu hari tempat usaha sang kakek buyutnya, Ong Bung Keng, didatangi oleh Bupati Sumedang, Pangeran Soeria Atmadja. Saat itu Pangeran kebetulan tengah melintas dengan menggunakan dokar dalam perjalanan menuju Situraja.
Kebetulan, sang Pangeran melihat seorang kakek sedang menggoreng sesuatu. Pangeran Soeria Atmadja langsung turun begitu melihat bentuk makanan yang amat unik serta baunya yang harum. Sang bupati, Pangeran Soeria Atmadja kemudian bertanya kepada sang kakek, "Maneh keur ngagoreng naon? (Kamu sedang menggoreng apa?)".
Sang kakek berusaha menjawab sebisanya dan menjelaskan bahwa makanan yang ia goreng berasal dari Tou Fu China. Karena penasaran, sang bupati langsung mencoba satu. Setelah mencicipi sesaat, bupati secara spontan berkata dengan wajah puas,
"Enak benar masakan ini! Coba kalau kamu jual, pasti laris!"
Tak lama setelah kejadian itu, Tahu Sumedang meroket namanya di kalangan rakyat dan terus dikenal sampai ke seluruh Indonesia, bahkan dunia.
ARTIKEL TERBARU: